Budaya Cancel Culture, saya ingat banget waktu itu, ada public figure yang saya ikuti di Instagram kena sorotan gara-gara komentar yang dianggap ofensif. Tanpa pikir panjang, saya ikut repost tweet yang nge-cancel dia. Bukan cuma itu, saya nambah caption pedas—seolah-olah saya bagian dari kebenaran.
Waktu itu rasanya satisfying. Saya merasa bagian dari gerakan “mengedukasi publik”. Tapi lama-lama saya mulai mikir, “Saya ini beneran peduli atau cuma ikut-ikutan tren cancel?”
Budaya Cancel Culture kadang datang dari tempat yang benar… tapi caranya bisa jadi keliru.
Awalnya Saya Ngerasa Punya Hak untuk Marah
Budaya Cancel Culture: Apa Sih Sebenarnya?
Cancel culture adalah fenomena sosial di mana seseorang atau kelompok diboikot, dijauhi, atau “dihapus” secara publik karena tindakan, ucapan, atau sikap yang dianggap salah—biasanya terjadi di media sosial.
Bentuknya bisa:
Unfollow dan blokir massal
Komentar atau quote tweet negatif
Boikot produk/brand
Tekanan publik agar individu/brand dihukum
Kadang ini berguna untuk memanggil tanggung jawab seseorang. Tapi kadang juga berubah jadi bullying massal.
Saya Pernah Jadi Bagian dari “Massa Digital”
Waktu kasus influencer lokal yang diduga rasis viral, saya ikut komentarin. Saya gak tau detailnya, tapi karena semua timeline penuh kemarahan, saya pikir, “Ah, udah pasti salah nih orang.”
Tanpa riset, tanpa lihat konteks. Saya ikut marah.
Beberapa hari kemudian, muncul klarifikasi. Ada potongan video yang diedit, konteks yang dimanipulasi. Saya malu. Tapi yang lebih menyakitkan, saya sadar:
Saya ikut menyebarkan rasa malu ke seseorang yang bahkan belum tentu salah.
Itu titik di mana saya mulai berpikir ulang soal Budaya Cancel Culture.
Apa yang Saya Pelajari dari Situasi Itu
1. Internet Gak Punya Tombol Undo
Sekali kamu komen atau retweet sesuatu yang merusak reputasi orang, dampaknya bisa permanen. Meski kamu hapus, jejak digital tetap ada.
2. Kita Cenderung “Memihak Mayoritas”
Kalau mayoritas bilang si A salah, kita ikut—bahkan sebelum tahu ceritanya. Ini disebut herd behavior. Dan di sosial media, efeknya brutal.
3. Satu Kesalahan Gak Selalu Mewakili Seluruh Orang
Semua orang pernah salah. Tapi Budaya Cancel Culture bikin seolah-olah satu kesalahan sama dengan kepribadian orang itu secara keseluruhan.
Tapi Budaya Cancel Culture Juga Gak Selalu Buruk
Saya gak munafik. Beberapa gerakan sosial penting lahir dari Budaya Cancel Culture:
Korban pelecehan seksual bersuara
Konsumen jadi lebih kritis ke brand
Influencer gak bisa seenaknya lagi
Budaya Cancel Culture pernah jadi cara masyarakat membalas ketidakadilan—karena sistem hukum formal kadang lambat atau gak berpihak.
Masalahnya bukan pada kritiknya. Tapi pada caranya. Saat kita hilang kontrol dan mulai ngebully, memaki, menyebarkan data pribadi… kita jadi bagian dari masalah, bukan solusi, dikutip dari laman resmi Alodok.
Pernah Lihat Teman Dikenai Cancel Culture? Saya Pernah.
Salah satu teman saya—bukan selebriti—pernah di-cancel secara lokal di komunitasnya karena candaan yang dianggap melecehkan. Dia langsung dikucilkan. Chat-nya diabaikan. Kerja sama profesionalnya dibatalkan.
Saya tahu dia salah, dan dia pun minta maaf dengan tulus. Tapi gak ada ruang untuk memperbaiki. Semua langsung “hapus akun.”
Waktu itu saya berpikir:
“Kalau semua orang dihukum tanpa diberi kesempatan berubah, dunia ini cuma penuh orang yang takut ngomong.”
Gimana Saya Belajar Menyikapi Budaya Cancel Culture dengan Lebih Dewasa
✅ 1. Cari Konteks Sebelum Repost atau Komentar
Biasain cek: siapa yang ngomong? Apa sumbernya? Apakah ada klarifikasi?
✅ 2. Pisahkan Kritik dan Serangan Personal
Komentar: “Saya kecewa dengan ucapan Anda.”
Beda banget sama: “Dasar orang bodoh, mental miskin!”
✅ 3. Sadari bahwa Orang Bisa Berubah
Kita pernah salah juga. Bedanya, kita gak disorot publik.
✅ 4. Support Positif Lebih Ampuh dari Serangan Massal
Kadang lebih bijak kasih edukasi daripada hinaan. Edukasi bisa mengubah. Hinaan cuma bikin orang defensif.
Tips Menjadi Netizen yang Lebih Bijak (Tanpa Kehilangan Suara)
Kritik boleh, tapi jangan jadi brutal.
Berani lawan salah, tapi juga berani maafkan.
Lawan sistem, bukan personal.
Ingat bahwa “viral” bukan selalu benar.
Pakai waktu online untuk edukasi, bukan eksistensi.
Efek Budaya Cancel Culture ke Mental Orang: Real Banget
Setelah saya lebih aware, saya mulai baca cerita dari orang-orang yang pernah jadi korban cancel. Banyak yang ngalamin:
Gangguan kecemasan
Depresi
Kehilangan pekerjaan
Trauma sosial
Satu tweet bisa jadi awal dari kehancuran hidup seseorang. Dan itu harusnya bikin kita nanya ulang:
“Apakah kita pengen keadilan? Atau cuma pengen jadi bagian dari keramaian?”
Penutup: Saya Masih Belajar Menjadi Netizen yang Bertanggung Jawab
Sekarang, setiap kali saya pengen komen sesuatu, saya nanya dulu:
Apakah saya pengen bantu, atau pengen eksis?
Apakah ini edukatif, atau cuma emosi sesaat?
Kalau saya di posisi dia, saya mau diperlakukan seperti apa?
Budaya Cancel Culture bukan masalah tunggal. Tapi cara kita nyikapin itu yang nentuin kita bagian dari solusi atau enggak.
Karena yang dunia butuh sekarang bukan orang yang paling keras… tapi yang paling waras.
Baca Juga Artikel dari: Saya Ikut Arus atau Tertinggal? Cerita Saya Menyusuri Tren Teknologi
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Trend